
Pagi menyapa Gaza dengan cahaya lembut matahari yang mulai mengintip dari balik bukit-bukit puing. Di sebuah rumah kecil dengan dinding yang retak, Rania, gadis berusia 10 tahun, membuka jendela kayu yang berderit pelan. Udara dingin menyentuh wajahnya, membawa aroma debu dan asin dari laut yang jauh.
Dari jendela itu, Rania bisa melihat sedikit kehidupan di tengah reruntuhan. Sebuah pohon tua berdiri tegar di ujung jalan, daunnya bergoyang lembut diterpa angin. Di bawah sinar pagi, pohon itu tampak seperti simbol keajaiban—hidup, meski dikelilingi kehancuran.
“Rania, ayo bantu Ibu di dapur!” suara lembut ibunya terdengar dari belakang.
Rania menoleh, lalu berjalan menuju dapur kecil mereka. Di sana, ibunya sedang menyiapkan adonan roti di atas meja yang hampir usang. Meski dapur itu sederhana, penuh dengan kesederhanaan, kehangatan keluarga terpancar dari setiap sudutnya.
Sambil membantu ibunya, pikiran Rania melayang ke sekolahnya yang kini hanya tersisa reruntuhan. Ia mengingat perpustakaan kecil yang dulu menjadi tempat favoritnya. Tempat itu hancur saat serangan terakhir, tapi Rania tahu, masih ada harapan. Buku-buku itu harus diselamatkan.
“Mungkin hari ini aku bisa mengajak Yusuf mengambil beberapa buku yang tersisa,” pikirnya, senyumnya mulai muncul. Meski kecil, mimpinya untuk menghidupkan kembali perpustakaan itu membuat hatinya penuh semangat.
Hari itu baru dimulai, tapi Rania sudah merasa ada cahaya baru yang menyinari hidupnya. Cahaya harapan, meskipun kecil, tetap ada.
Author: Dr. Sunarto Zulkifli
platform media online yang berdedikasi untuk menyampaikan berita dan informasi yang berfokus pada penyajian fakta dan peningkatan kesadaran masyarakat.