Jawa Barat, disingkat Jabar adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak pada bagian barat Pulau Jawa dengan ibu kota provinsi di Kota Bandung. Jawa Barat berbatasan dengan Provinsi Banten dan wilayah ibu kota Jakarta di sebelah barat, Laut Jawa di utara, Provinsi Jawa Tengah di timur, dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Bersama dengan Provinsi Banten, Jawa Barat disebut sebagai Tatar Sunda atau Pasundan karena merupakan kampung asli masyarakat Sunda, suku terbesar kedua di Indonesia.
Jawa Barat adalah sebuah provinsi yang seluruh wilayahnya termasuk ke dalam Tatar Sunda, Indonesia. Ibu kotanya berada di Kota Bandung. Pada masa era monarki, Tatar Sunda, merupakan wilayah dengan ragam kerajaan, diantaranya, Kerajaan Jampang Manggung,[1] Kerajaan Agrabintapura,[1] Kerajaan Tanjung Singuru,[1] Kerajaan Kendan,[2] Kerajaan Galuh, Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Talaga Manggung, Kerajaan Galunggung, Kerajaan Sunda Galuh, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Tembong Agung,[3] dan Kerajaan Sumedang Larang.[4] Masyarakat modern pun mengenal wilayah ini sebagai wilayah tatar Sunda dengan tokoh utamanya Sri Baduga Maharaja atau dikenal sebagai Raja Siliwangi yang dianggap sebagai pemimpin pemersatu seluruh monarki yang ada di Parahyangan dalam satu kerajaan bernama Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran sebelum runtuh pada 1579. Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia era akhir kolonial (staatblad Nomor: 378). Pasca kemerdekaan, Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No. 1 Tahun 1945 dan UU No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Bagian barat laut provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ibukota negara Indonesia dimana pada masa monarki wilayah ini termasuk Sunda Kalapa[note 1] merupakan pelabuhan dan teritori Sunda.[note 2] Pada tahun 2000, wilayah barat dari Provinsi Jawa Barat dimekarkan menjadi Provinsi Banten, yang saat awal pembentukan terdiri dari Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Tangerang. Saat ini terdapat wacana untuk mengubah nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan, dengan memperhatikan aspek historis wilayah ini.[7]
Masyarakat pra-modern era Pleistosen mengenal daerah Nusantara sekarang sebagai Sundaland[8] yang berseberangan dengan Sahul land.[9]
Temuan arkeologi di Anyer menunjukkan adanya budaya logam perunggu dan besi sejak sebelum milenium pertama. Gerabah tanah liat prasejarah zaman buni (Bekasi kuna) bisa ditemukan merentang dari Anyer sampai Cirebon.[10]
Jawa Barat pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara.[11] Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (ditulis dalam aksara Pallawa) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar menceritakan para raja Tarumanagara.
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Serayu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda.[11] Salah satu prasasti dari zaman Kerajaan Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932.[12] Kerajaan Sunda beribukota di Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor).[13]
Pada abad ke-16, berdiri Kesultanan Demak tumbuh menjadi saingan ekonomi dan politik Kerajaan Sunda. Cirebon berhasil lepas dari Kerajaan Sunda dengan bantuan dari Kesultanan Demak.[14] Hingga akhirnya Cirebon membentuk kesultanannya sendiri. Begitu pula dengan Banten yang berhasil lepas dari Kerajaan Sunda atas bantuan Kesultanan Cirebon dan kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Banten.[11]
Untuk menghadapi ancaman ini, Sri Baduga Maharaja, raja Sunda saat itu, meminta putranya, Surawisesa untuk membuat perjanjian pertahanan keamanan dengan orang Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kalapa (sekarang Jakarta) kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak.[11]
Pada saat Surawisesa menjadi raja Sunda, dengan gelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa, dibuatlah perjanjian pertahanan keamanan Sunda-Portugis, yang ditandai dengan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal, ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai imbalannya, Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kalapa serta akses untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan keamanan tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu monumen batu yang disebut padrão di tepi Ci Liwung.
Meskipun perjanjian pertahanan keamanan dengan Portugis telah dibuat, pelaksanaannya tidak dapat terwujud karena pada tahun 1527 pasukan aliansi Cirebon-Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau Paletehan mengalahkan pasukan Portugis dan Kerajaan Sunda hingga akhirnya merebut pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon-Demak berlangsung lima tahun sampai akhirnya Kesultanan Banten pada tahun 1531 mengajukan suatu perjanjian damai antara Prabu Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.[11] Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya, alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan Sunda mengalami kemunduran besar dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576, kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran (ibukota Kerajaan Sunda), dan akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan Banten, wilayah Priangan (Jawa Barat bagian tenggara) jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.[11]
Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu dimaksudkan sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden[11] (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Di bawah kebijakan Belanda wilayah batas Provinsi Jawa Barat mirip dengan peta yang dibayangkan oleh Mataram dan VOC pada 1706. Wilayah Provinsi Jawa Barat termasuk Banten, Batavia, Priangan, dan Cirebon (statsblad no. 235 dan 276, 1925; Ekadjati).[15] Bagi sebagian orang Sunda istilah Jawa Barat berarti subordinat Jawa. Tentu mereka engan menggunakan terma ini dan lebih menyukai Sunda atau Pasoendan seperti petisi yang dilayangkan Paguyuban Pasundan 1924-1925. Sama halnya dengan Kongres Pemuda Sunda yang menyarankan Sunda sebagai nama provinsi ketimbang Jawa Barat. Semua ajuan ini tidak pernah terwujud. Istilah Sunda atau Tatar Sunda hanya menjadi terma budaya ketimbang politik.[15]
1 Januari 1926 merupakan awal adanya sistem pemerintahan di Jawa Barat pada masa kolonial Belanda. Yang pertama kali memperjuangkan pembentukan sistem pemerintahan di Jawa Barat ke pemerintah Kolonial Belanda adalah para tokoh perjuangan yang ada seperti Oto Iskandar di Nata, Husni Thamrin, Tjokroaminoto dan tokoh lainnya. Usulan itu diterima pemerintah kolonial Belanda, ada sekitar 45 orang pribumi, 20 diantaranya tokoh Sunda yang terlibat dalam pemerintahan provinsi Jawa Barat kala itu.[16]
Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Kemudian pada tanggal 27 Desember 1949, Jawa Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.
Jawa Barat kemudian kembali bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.
Provinsi Pasundan adalah nama provinsi Jawa Barat yang diinisiasi masyarakat Parahyangan, salah satunya mengacu pada sejarah penyebutan populer Tatar Sunda, Parahyangan, Sunda Kalapa, Pasundan pada wilayah Jawa bagian Barat sejak era kerajaan Nusantara sebelum menjadi Indonesia kini. Dan penamaan Jawa Barat yang dianggap tidak merepresentasikan karakteristik Tatar Pasundan.
Pada milenium baru, dekade 2000-an muncul inisiasi untuk mengembalikan nama Provinsi Jawa Barat kepada identitas yang sesuai dengan karakteristik Tatar Pasundan yang oleh sebagian tokoh, seniman, budayawan, masyarakat adat, tokoh agama, dan komunitas yang tersebar di Tatar Parahyangan dianggap sudah mulai terkikis akibat adanya globalisasi di satu sisi.[note 3]
Inisiasi pergantian nama menjadi Provinsi Pasundan sebagai salah satu aspirasi dalam mewujudkan undang-undang yang berlaku dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 30 tahun 2012 tentang pedoman pemberian nama ibu kota, nama daerah dan pemindahan ibu kota, atau UU Otda 32/2004 jo UU 23/2014. Contoh kongkritnya Seperti Papua menjadi Irian Jaya dan Aceh menjadi Nangroe Aceh Darussalam. Pergantian nama tersebut tidak mengubah jumlah kabupaten/kota dan sistem pemerintahan yang sudah ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia.[7]
Prof. Asep Syaifuddin menyatakan bahwa secara akademis sejak 2003 hingga hari ini prestasi pendidikan di Jawa Barat terus menurun. Yang bertahan hanya posisi kemiskinan saja di rangking 15. Ini mengapa terjadi, karena orang Pasundan telah kehilangan jati dirinya, dibanding daerah lain seperti Banten, Papua Barat, NAD, dan lainnya.[27] Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan persentase partisipasi usia pendidikan SMP di Jawa Barat berada di peringkat 24, kalah dengan Papua Barat serta Aceh. Juga jumlah penduduk miskin berada di urutan 15.[note 4]
Pemerintahan Jokowi melalui aparatur Kabinet Kerja yaitu Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, menyambut baik namum menyatakan masih memperlukan kajian lebih komprehensif dan melihat urgensinya selain gaung apresiasi masyarakat Parahyangan.[7]
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Jawa_Barat
platform media online yang berdedikasi untuk menyampaikan berita dan informasi yang berfokus pada penyajian fakta dan peningkatan kesadaran masyarakat.